blind



Creepypasta
Aku mendudukkannya di kursi terapi ku, matanya yang menatap kosong lurus ke depan membuatku merasa prihatin, sekaligus penasaran apa yang berada dalam benaknya.
"Bolehkah aku bercerita sekarang?" katanya, suaranya yang rapuh menunjukkan ia telah menyerah dengan umurnya.
"Silahkan..." kataku mengambil bolpoin dan nota.
"Itu semua berawal dari 27 Januari 2013, tahun lalu..." aku tercengang, ia sudah tua namun ingatannya masih cukup tajam, "Paling tidak itulah yang aku tahu." sambungnya.
"Aku bangun dan meraih tongkatku, Heri belum datang..." katanya, "Maaf, Heri itu siapa?" aku melihat tangannya bergetar, "Semacam mata kedua ku." ia menjawab, namun aku tahu ia tak ingin mengingat 'Heri' lagi.
"Jadi, Heri belum datang, aku sendirian, untung Rocky -- anjingku -- sudah bangun, ia datang ke kamarku dan menjilat-jilat kakiku riang." katanya.
"Rocky saja sebenarnya cukup, karena ia sudah dilatih untuk menjadi guide dog, tapi aku juga perlu teman bicara..." katanya, aku melihat raut wajah yang bercampur: marah dan sedih.
"Kembali ke rumahku pagi itu, aku mendengar suara piring di rak cucian piring bergerak, Heri tidak pernah memasak atau memakai piring rumah... ini sudah sangat aneh." ia menggaruk-garuk tangannya, terlihat raut takut di wajahnya.
"Aku berjalan dengan tongkatku menuju dapur, Rocky menuntunku menggunakan bau makanan anjing yang berada di dapur. Aku duduk di kursi makan, tapi Rocky tak mau berhenti menggeram..." kali ini ekspresinya datar.
"'Selamat pagi!' aku mendengar suara Heri. Ia tak pernah mengucapkan selamat pagi, biasanya ia mengucapkan 'bagaimana pagimu prajurit?' karena ia tahu aku adalah seorang veteran..." ia mengelus dadanya, "Aku masih punya badge-nya, kalau kau mau..." katanya tersenyum. "Terimakasih, tapi memorabilia perang bukan bidangku..." aku menjawab menahan tangis -- setelah apa yang dilaluinya, ia masih berusaha menjadi seorang tua yang baik.
"Oh, baiklah, kalau nanti ada yang pamer soal ini kau akan rugi..." aku berusaha tertawa agar suasana tak begitu menyesakkan.
"Lalu itu semua terjadi..." wajahnya kembali menjadi tegang. "Aku merasakan hantaman keras di belakang kepalaku." ia membelai leher belakangnya, "di sini." sambungnya.
"Lalu aku mendengar tawa mereka, Heri dan orang lain, orang yang sedari tadi berada di rumahku..." katanya geram.
"Kita apakan tua bangka ini? Entahlah, kita buang saja tubuhnya ke sungai. Jangan, kita kubur saja dia bersama anjing bodohnya itu." katanya menirukan suara yang didengarnya pagi yang naas itu.
"Aku yakin Heri tidak pernah peduli padaku..." katanya, "Sayang sekali, dia orangnya baik, tapi dia tak tahu kalau aku hanya katarak ringan, hanya saja aku malas bekerja, jadi aku pensiun dengan alasan buta."
Ia menatap nanar ke arahku.
"Dan kau... kau ada pagi itu bersama Heri, bagus ya, setelah mencoba membunuhku kau menjadi seorang psikiater, bagaimana rasanya, ingin membunuh lagi, ha!?" sialan, aku sudah pasang akting sedemikian rupa dan ia masih bisa mengejutkanku, aktingnya lebih bagus.
Ia mencoba untuk mencengkeram leherku, tapi aku lebih cepat, suntikan anesthesia membuatnya sempoyongan dan pingsan, dosis yang kuberikan cukup untuk membunuh seekor banteng.
Aku menulis di catatan kematiannya: overdosis anesthesia. Aku membenarkan kacamataku dan berkata...
"Sampaikan salamku pada Heri, tua bangka." hari itu hari yang indah.

By : Arie Estrada

Comments

  1. Ceritanya bagus..
    Tapi ada beberapa alur yg kurang menarik..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts